Bitacom |WA : 0857 1166 5051|

Rabu, 12 Agustus 2015

OBAT STRESS


Orang beriman tak pernah Stress
Sebagai hamba AIIoh, dalam kehidupan didunia manusia tidak akan luput dari berbagai cobaan, baik kesusahan maupun kesenangan, sebagai sunnatulloh yang berlaku bagi setiap insan, yang beriman maupun kafir.
Allah Subhanahu wa Ta’ala Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ [٢١:٣٥]
Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.
 (Al-Anbiya' 21. 35)
Imam Ibnu Katsir v berkata:
"Makna ayat ini yaitu “Kami menguji kamu (wahai rnanusia) terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa."

Kebahagiaan hidup dengan bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
Allah Subhanahu wa Ta’ala Subhanahu wa Ta’ala dengan ilmu-Nya yang mahatinggi dan hikmah-Nya yang maha sempurna menurunkan syariat-Nya kepada manusia untuk kebaikan dan kemaslahatan hidup mereka. Oleh karena itu, hanya dengan berpegang teguh kepada agamaNyalah seseorang bisa meraih kebahagiaan hidup yang hakiki di dunia dan akhirat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala Subhanahu wa Ta’alaTa'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu,
 (Al-Anfal 8. 224)
Imam Ibnul Qoyyim v berkata:
 "(Ayat ini menunjukkan) bahwa kehidupan yang bermanfaat hanyalah didapatkan dengan memenuhi seruan AIIah dan Rosul-Nya. Maka barangsiapa yang tidak memenuhi seruan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rosul-Nya maka dia tidak akan merasakan kehidupan(yang baik). Meskipun dia memiliki kehidupan (seperti) hewan, yang juga dimiliki oleh binatang yang paling hina (sekalipun). Maka kehidupan baik yang hakiki adalah kehidupan seorang yang memenuhi seruan Allah Subhanahu wa Ta’ala Subhanahu wa Ta’aladan Rosul-Nya secara lahir maupun batin.

Sikap seorang mukmin dalam menghadap Masalah
Dikarenakan seorang mukmin dengan ketakwaannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala Subhanahu wa Ta’ala memiliki kebahagiaan yang hakiki dalam hatinya, maka masalah apapun yang dihadapinya di dunia ini tidak membuatnya mengeluh atau stres, apalagi berputus asa. Inilah yang dinyatakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ ۚ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ [٦٤:١١]
Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah Subhanahu wa Ta’ala; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Mengetahui segala sesuatu.
(At-Taghobun 64. 11)
 Imam Ibnu Katsir v berkata:
 "Makna ayat ini seseorang yang ditimpa musibah dan dia meyakini bahwa musibah tersebut merupakan ketentuan dan takdir Alloh, sehingga dia bersabar dan mengharapkan (balasan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala), disertai (perasaan) tunduk berserah diri kepada ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala Subhanahu wa Ta’alatersebut, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala Subhanahu wa Ta’alaakan memberikan petunjuk ke(dalam) hatinya dan menggantikan musibah dunia yang menimpanya dengan petunjuk dan keyakinan yang benar dalam hatinya, bahkan bisa jadi Dia akan menggantikan apa yang hilang darinya dengan yang lebih baik baginya."
Dalam menjelaskan hikmah yang agung ini, Ibnul Qoyyim berkata: "Sesungguhnya semua (musibah) yang menimpa orang-orang yang beriman daIam (menjalankan agama) Allah Subhanahu wa Ta’ala Subhanahu wa Ta’alasenantiasa disertai dengan sikap ridha dan ihtisab (mengharapkan pahala dari-Nya). Kalaupun sikap ridha tidak mereka miliki maka pegangan mereka adalah sikap sabar dan ihtisab. Ini (semua) akan meringankan beratnya beban musibah tersebut. Karena setiap kali mereka menyaksikan (mengingat) balasan (kebaikan) tersebut, akan terasa ringan bagi mereka menghadapi kesusahan dan musibah tersebut. Adapun orang-orang kafir, maka mereka tidak memiliki sikap ridha dan tidak pula ihtisab. Kalaupun mereka bersabar (menahan diri), maka (tidak lebih) seperti kesabaran hewan-hewan (ketika mengalami kesusahan). Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala Subhanahu wa Ta’alatelah mengingatkan hal ini dalam firman-Nya:
وَلَا تَهِنُوا فِي ابْتِغَاءِ الْقَوْمِ ۖ إِنْ تَكُونُوا تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمُونَ ۖ وَتَرْجُونَ مِنَ اللَّهِ مَا لَا يَرْجُونَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا [٤:١٠٤]
Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari pada Allah Subhanahu wa Ta’ala apa yang tidak mereka harapkan. Dan adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
 (An-Nisa'4. 104)
Maka orang-orang mukmin maupun kafir sama-sama menderita kesakitan, akan tetapi orang-orang mukmin teristimewakan dengan pengharapan pahala dan kedekatan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Hikmah Cobaan
Di samping sebab-sebab yang kami sebutkan diatas, ada faktor Iain yang tak kalah pentingnya dalam meringankan semua kesusahan yang dialami seorang mukmin dalam kehidupan di dunia, yaitu dengan dia merenungkan dan menghayati hikmah-hikmah agung yang Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan dalam setiap ketentuan yang diberlakukan-Nya bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertakwa. Semua ini, di samping akan semakin menguatkan kesabarannya, juga akan membuatnya selalu bersikap husnuzhon (berbaik sangka) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam semua musibah dan cobaan. Dan dengan sikap ini Allah Subhanahu wa Ta’ala  akan semakin melipatgandakan balasan kebaikan baginya, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam sebuah hadits qudsi:
“Aku (akan memperlakukan hambaKu) sesuai dengan persangkaannya kepadaku”
(HR al-Bukhari (no. 7066- cet. Daru lbni Katsir) dan Muslim (no. 2675)

Makna hadits ini: Allah Subhanahu wa Ta’ala Subhanahu wa Ta’ala akan memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, dan Dia akan berbuat pada hamba-Nya sesuai dengan harapan baik atau buruk dari hamba tersebut. Maka hendaknya hamba tersebut selalu menjadikan baik persangkaan dan harapannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Di antara hikmah yang agung tersebut adalah:
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan tersebut sebagai obat pembersih untuk mengeluarkan semua kotoran dan penyakit hati yang ada pada HambaNya yang kalau seandainya kotoran dan penyakit tersebut tidak dibersihkan maka dia akan celaka karena dosa-dosanya atau minimal berkurarng pahala dan derajat disisi Allah Subhanahu wa Ta’ala l, maka musibah dan cobaanlah yang membersihkan penyakit penyakit itu sehingga hamba tersebut akan meraih pahala yang sempurna dan kedudukan yang tinggi di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala .

Inilah makna sabda Nabi n:
“Orang yang paling banyak mendapat ujian/cobaan (dijalan Allah Subhanahu wa Ta’ala) adalah para Nabi kemudian orang-orang yang kedudukannya setelah mereka dalam keimanan dan orang-orang yang kedudukannya setelah mereka dalam keimanan. Setiap orang akan diuji sesusai dengan kuat lemahnya agama imannya. Kalau agama kuat maka cobaannyapun akan makin besar dan kalau agamanya lemah maka akan diuji sesuai dengan kelemahan agamanya. Ujian itu akan terus menerus Allah Subhanahu wa Ta’ala  timpakan kepada seorang hamba sampai akhirnya hamba itu berjalan dimuka bumi dalam keadaaan tidak punya dosa sedikitpun”
(HR Tirmidzi no 23498 Ibnu Majah no 4023 Ibnu Hibban 7/160 al Hakim 1/99 dan lain-lain dishohihkan oleh at Tirmidzi, Ibnu Hibban, al Hakim dan adz Dzahabi dam Syaikh al Albani dalam Silsilatul ahaadists ash shahihah no 148)

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan tersebut sebagai sebab untuk menyempurnakan penghambaan diri dan ketundukan seorang mukmin kepada Nya karena Allah Subhanahu wa Ta’ala  mencintai hambaNya yang selalu taat beribadah kepadaNya dalam semua keadaaan susah maupun senang.
Inilah makna sabda Rasulullah n:
“Alangkah mengagumkan keadan seorang mukmin karena semuanya keadaannya membawa kebaikan untuk dirinya dan ini hanya ada pada seorang mukmin jika dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur maka itu adalah kebaikan baginya dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar maka dia adalah kebaikan baginya”
(HR Muslim 2999)

Allah Subhanahu wa Ta’ala  menjadaikan musibah dan cobaan didunia sebagai sebab untuk menyempurnakan keimanan seorang hamba terhadap kenikmatan sempurna yang Allah Subhanahu wa Ta’ala l sediakan bagi hambanya yang bertaqwa di Surga kelak.

Dan inilah keistimewaan surga yang menjadikannya sangat jauh berbeda dengan keadaan dunia karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan surgaNya sebagai negeri yang penuh kenikmatan yang kekal abadi serta tidak ada kesusahan dan penderitaan padanya selamanya. Sehingga seandainya seorang hamba terus menerus merasakan kesenangan di dunia maka tidak ada artinya keistimewaaan surga tersebut dan dikhawatirkan hamba tersebut akan terikat kepada dunia sehingga lupa mempersiapkan diri menghadapi kehidupan yang kekal abadi diakhirat nanti.
Inilah antara makna yang diisyaratkan dalam sabda  Rasulullah n:
Jadilah kamu didunia seperti orang asing atau orang yang sedang melakukan perjalanan
(HR Bukhari no 6053)

Penutup
 Ada sebuah kisah yang disampaikan oleh Imam Ibnul Qayyim v tentang gambaran kehidupan guru beliau Imam Ahlus sunnah wal jamaah dizamannya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah semoga merahmatinya, Ibnu Qayyim berkata:”Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala l yang Mahatahu bahwa aku tidak pernah melihat seorangpun lebih bahagia hidupnya daripada beliau (Ibnu Tamiyyah). Padahal kondisi kehidupan berliau sangat susah jauh dari kemewahan dan kesenangan duniawi bahkan sangat memperhatikan, ditambah lagi dengan siksaan dan penderitaan yang beliau alami dijalan Allah Subhanahu wa Ta’ala l) yang berupa siksaan dalam penjara ancaman dan penindasan dari musuh-musuh beliau. Tapi bersamaan dengan itu semua aku mendapati beliau adalah termasuk orang yang paling bahagia hidupnya paling lapang dadanya paling besar hatinya serta paling tenang jiwanya terpancar pada wajah beliau sinar keindahan dan kenikmatan hidup yang beliau rasakan. Dan kami murid-murid  Ibnu Taimiyyah jika kami ditimpa perasaan takut yang berlebihan atau timbul dalam diri kami prasangka-prasangaka buruk  atau ketika kami merasakan kesempitan hidup. Kami segera mendatangi beliau untuk meminta nasihat maka dengan hanya memandang wajah beliau dan mendengarkan ucapan nasihat beliau serta merta hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang tegar yakin dan tenang.

#stress  #obatstress

Selasa, 11 Agustus 2015

CIRI CIRI HATI SEHAT

Bagaimana keadaan hati yang sehat?


Hati yang sehat, itulah yang akan menghadap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat kelak. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ (88)
“(Yaitu) di hari dimana harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna,
 إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ (89)
kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.”
(Asy Syu’araa’ 26. 88-89)



Hati yang sehat adalah hati yang selamat dari syahwat yang menyelisihi perintah dan larangan Allah dan selamat dari syubhat yang bertentangan dengan kabar dari Allah, selamat dari penghambaan pada selain Allah, selamat dari berhukum pada selain hukum Rasulullah. Hati yang sehat juga selamat dari cinta ibadah yang menduakan Allah, dari takut ibadah yang menduakan Allah, begitu pula dari rasa harap yang menduakan Allah. Intinya, segala ubudiyah (penghambaan) hanyalah ditujukan pada Allah, itulah hati yang selamat.
 Demikian kalimat yang mendefinisikan hati yang sehat sebagaimana diuraikan oleh Ibnul Qayyim.
Dua unsur penting ini dimiliki oleh orang yang memiliki hati yang sehat.
Dalam ibadah ditanyakan 2 hal, yaitu:
 (1) Mengapa dilakukan?
Pertanyaan pertama dimaksudkan apakah motivasi yang mendorong melakukan amalan tersebut, apakah dilakukan untuk meraup keuntungan dunia, suka akan pujian manusia, takut pada celaan mereka, ataukah ingin mendekatkan diri pada Allah.

(2) Bagaimana dilakukan?
Pertanyaan kedua dimaksudkan bagaimana amalan tersebut dilakukan, apakah sesuai yang disyari’atkan Rasulullah SAW ataukah tidak.
Intinya, pertanyaan pertama tentang ikhlas dalam amalan, sedangkan pertanyaan kedua tentang ittiba’/mengikuti ajaran Rasul n.
Amalan tidaklah diterima melainkan dengan memenuhi 2 syarat ini.
Sehingga hati yang selamat dan meraih kebahagiaan adalah hati yang ikhlas dan hati yang berusaha mengikuti setiap petunjuk Rasulullah SAW dalam amalan ibadah.
Sehingga Ibnul Qayyim pun mengatakan,
فهذا حقيقة سلامة القلب الذي ضمنت له النجاة والسعادة
“Inilah (hati yang ikhlas dan ittiba’) itulah hakikat hati yang salim, yang akan meraih keselamatan dan kebahagiaan.”
 (Ighotsatul Lahfan, 1: 43).

Referensi:

Ighotsatul Lahfan fii Mashoyidisy Syaithon, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan kedua, tahun 1432 H.